Minggu, 11 Oktober 2009

tugas pak kholeq

  1. UU HAKI DI INDONESIA .TENTANG RAZIA WARNET

    Sejumlah warung internet (Warnet) sejak Maret lalu terjaring dalam razia penggunaan peranti lunak bajakan. Pertanda lemahnya kesadaran hukum atau aparat yang memang diskriminatif?
    Sejak diberlakukannya Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Nomor 19 tahun 2002 , pihak aparat kepolisian mulai gencar mengadakan razia. Bukan hanya razia VCD bajakan, namun peranti lunak program komputer tak luput dari incaran. Hasilnya, sejak Maret kemarin ratusan Warnet yang terbukti menggunakan peranti lunak tanpa lisensi dijaring petugas. Bukan pemiliknya yang ditangkap, melainkan penahanan semua peranti keras komputer yang ada. Penyitaan tersebut dilakukan dengan dalih sebagai barang bukti. Semua peranti keras tersebut terbukti tidak memiliki apa yang disebut dengan End User License Agreement (EULA).
    EULA ini adalah izin yang berasal dari pihak pemilik lisensi dalam hal ini Microsoft bagi pengguna peranti lunak untuk memakai dan menyewakannya,? ujar Judith MS, Ketua Presidium Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI) kepada SH di Jakarta, Selasa tgl 26/5. Sebagai sistem operasi yang mengenakan biaya lisensi bagi penggunanya, Microsoft memang dilindungi oleh UU HaKI dari ulah konsumen yang tidak memiliki EULA. Uniknya, pihak Microsoft sendiri agaknya memang kurang gencar melakukan sosialisasi EULA. Tak heran banyak Warnet atau juga perkantoran yang masih melenggang menggunakan sistem operasi Microsoft seperti Windows 98, 2000 sampai XP dalam versi bajakan alias menggandakan sendiri. Padahal sanksi hukumnya jelas, yakni yang bersangkutan harus membayar denda dan mengganti semua peranti bajakan tersebut dengan yang berlisensi.
    Jika ditanya seberapa besar perbandingan antara Warnet yang memakai peranti lunak bajakan dengan yang berlisensi, maka Judith mengakui bisa dikatakan 98 persen Warnet di Indonesia masih memakai yang bajakan. Ini bisa dimaklumi sebab biaya EULA masih tergolong mahal. Ditambah lagi sebuah Warnet harus juga menanggung biaya bandwidth internet yang cukup selangit. Bahkan satu Warnet seringkali menghabiskan 50 persen biaya operasionalnya demi menyewa bandwidth.
    Harga bandwidth di Indonesia dinilainya lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Kondisi ini membuat sebagian besar Warnet kesulitan menambah modal untuk membeli peranti lunak legal.
    Sweeping alias razia terhadap peranti lunak bajakan ini sudah dilakukan di ratusan Warnet di Yogyakarta, Semarang, Padang, Bali, Cilacap dan Bandung. Uniknya, dari sekian banyak kasus, hanya yang di Cilacap saja yang berhasil dibawa ke pengadilan, sedang sisanya lebih banyak mengambil jalan "damai".
    Lebih dari itu, yang menjadi keberatan di pihak pemilik Warnet adalah apa memang benar hanya Warnets saja yang sudah melakukan pelanggaran UU HaKI? ?Bagaimana dengan perkantoran dan institusi lain yang juga memakai peranti lunak ilegal,? cetus Judith yang memimpin AWARI dengan sekitar 4.000-an anggota di seantero Indonesia. Pihak AWARI telah mengirim permohonan kepada aparat kepolisian agar ada tenggang waktu bagi Warnet yang memang masih belum menggunakan peranti lunak legal, yakni tiga bulan.
    Microsoft bukan satu-satunya pengembang peranti lunak yang memberlakukan EULA bagi penggunanya. Ada peranti lunak lain seperti MP3 WinAmp dan aplikasi kompresi dokumen WinZip. UU HaKI diyakini bisa menekan angka pembajakan peranti lunak di Indonesia yang tergolong cukup tinggi.
    Pembajakan sendiri dalam UU HAKI itu menyebutkan, mengatur apa yang dinamakan pelanggaran terhadap pengguna akhir (end user piracy) dalam Pasal 72 ayat (2). Yakni, barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum barang hasil pelanggaran hak cipta, maka akan dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Namun pada kasus peranti lunak yang dipakai Warnet, pelanggaran
    tersebut agak abu-abu, sebab jelas-jelas Warnet tidak menjual atau memperdagangkan peranti lunaknya.
  2. UU ITE INDONESIA,TENTANG KAPOLRI CEK ULANG KEBENARAN PRITA DALAM UU ITE
    Dalam kasus ini, Prita dimulai ketika ia menulis keluhannya lewat e-mail ke sejumlah rekannya pada medio Agustus 2008. Prita mengeluhkan pelayanan di RS Omni Internastional, Tangerang. Tak disangka, tulisan Prita menyebar ke berbagai milis dan berbuntut penahanan terhadap dirinya.
    Prita dijerat Undang-Undang ITE dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Prita dituding mencemarkan nama baik karena menulis tentang pelayanan RS Omni International Alam Sutra, Serpong, Tangerang.
    Kejaksaan Negeri Tangerang yang telah menerima berkas dari penyidik Polri, kemudian menahan Prita. Polri sendiri telah melakukan pemeriksaan dan menetapkan Prita sebagai tersangka setelah menerima laporan pengaduan dari RS Omni International. Namun pihak kepolisian tidak menahan tersangka pencemaran nama baik itu.
    Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mengatakan akan merespon permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait kasus penahanan Prita Mulyasari, tersangka pencemaran nama baik RS Omni International, Tangerang, dengan melakukan evaluasi internal di jajarannya.Dan Kapolri mengatakan, evaluasi internal Polri akan dilakukan untuk mengetahui apakah proses yang dilakukan oleh penyidik sudah benar. ''Tidak ada kepentingan apapun. Bahwa ini murni penegakkan hukum yang memang memenuhi unsur-unsur yang disangkakan dalam undang-undang ITE,''

Tidak ada komentar:

Posting Komentar